TIMES TEMANGGUNG, JAKARTA – Bagi warga Tunisia, Idul Adha bukan sekadar hari raya biasa. Perayaannya justru jauh lebih semarak ketimbang Idul Fitri. Tradisi dan budaya lokal melebur menjadi satu dengan nuansa keislaman yang kental.
Hal itu diungkapkan mahasiswa asal Indonesia, Fairus Ramadhan yang kini sedang menempuh studi di Tunisia. Menurut dia, suasana Idul Adha di negeri Afrika Utara itu justru mengalahkan gegap gempita Lebaran.
“Kalau di Indonesia Idul Fitri yang paling meriah, di sini justru Idul Adha yang ditunggu-tunggu. Ada konser Islami, lomba tilawah Qur’an, dan tradisi yang kuat,” kata Fairus, Minggu (8/6/2025).
Tunisia merupakan negara mayoritas Muslim bermazhab Maliki. Warganya dikenal ramah dan terbuka pada pendatang, termasuk pelajar dari Indonesia. Bahasa sehari-hari mereka campuran Arab, Prancis, dan sedikit Inggris.
Menjelang Idul Adha, berbagai lomba tilawah digelar di sejumlah kota, terutama di Kairouan—kota tua yang jadi situs warisan dunia UNESCO. “Kairouan menjadi pusat tradisi keislaman. Kota ini didirikan Uqbah bin Nafi’, panglima Muslim di era Umayyah,” ujar Fairus.
Tradisi Penyembelihan Hewan Kurban
Salah satu yang mencolok adalah tata cara penyembelihan hewan kurban.
Di Tunisia, tidak ada panitia kurban seperti di Indonesia. Masyarakat lebih memilih menyimpan hewan kurban di rumah masing-masing. Proses penyembelihan pun dilakukan oleh anggota keluarga sendiri.
“Kalau di Indonesia biasanya disembelih bareng di masjid atau lapangan. Di sini, kurban itu urusan keluarga. Dagingnya dibagikan langsung ke tetangga,” jelas Fairus.
Tradisi ini sudah berjalan turun-temurun. Warga Tunisia percaya bahwa menyembelih sendiri adalah bentuk ibadah personal yang lebih mendalam.
Tak hanya itu, Tunisia juga dikenal sebagai tempat tumbuhnya tarekat sufi besar seperti Syadziliah. Salah satu tokoh populernya adalah Sidi Bou Said, yang namanya kini menjadi kawasan wisata ikonik di kota Tunis. Rumah-rumah berwarna putih dengan pintu dan jendela biru menjadi ciri khasnya.
Sambutan Hangat untuk Warga Indonesia
Di tengah budaya yang begitu kental itu, warga Indonesia tetap mendapat tempat istimewa. “Saat salat Id, kami diundang shalat di Masjid Jami’ Tunisia. Warga lokal sangat terbuka, bahkan ada yang menyumbangkan hewan kurban untuk kami,” kata Fairus.
KBRI Tunisia pun tak ketinggalan. Tiap tahun, kantor perwakilan RI itu menggelar salat Id, ceramah keagamaan, hingga makan bersama. Menu khas Indonesia seperti rendang, sate, dan opor ayam jadi pengobat rindu kampung halaman.
“Yang bikin bangga, KBRI kita selalu aktif. Bahkan saat kedutaan negara lain tidak menggelar salat Id, KBRI Tunisia tetap ada untuk kami,” ucapnya.
Tahun ini, mahasiswa yang tergabung dalam Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Tunisia menerima satu ekor sapi dan empat ekor kambing. Hewan kurban itu berasal dari lembaga Indonesia seperti INH Community dan Universitas Az-Zaitunah.
“Dagingnya dibagikan merata ke seluruh warga Indonesia di Tunisia, dari mahasiswa, pekerja hingga keluarga,” jelas Fairus.
Meski jauh dari Tanah Air, suasana kekeluargaan sangat terasa. Perbedaan budaya dan mazhab bukan halangan untuk merayakan hari besar Islam dengan khidmat. “Kami justru belajar bagaimana Islam bisa berdamai dengan budaya lokal tanpa kehilangan esensinya,” tutupnya.
Tunisia, dengan segala kekhasan budayanya, justru menjadi ruang harmonis bagi nilai-nilai Islam yang menyatu dalam tradisi lokal. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Lebih Semarak dari Idul Fitri, Mahasiswa RI Ungkap Tradisi Unik Idul Adha di Tunisia
Pewarta | : Yusuf Arifai |
Editor | : Ronny Wicaksono |